2013/04/30

BEHAVIOR THERAPY


Pendekatan terapi perilaku (behavior therapy) berfokus pada hukum pembelajaran. Bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh proses belajar sepanjang hidup. Tokoh yang melahirkan behavior therapy adalah Ivan Pavlov yang menemukan “classical conditioning” atau “associative learning”.
Inti dari pendekatan behavior therapy adalah manusia bertindak secara otomatis karena membentuk asosiasi (hubungan sebab-akibat atau aksi-reaksi). Misalnya pada kasus fobia ular, penderita fobia mengasosiasikan ular sebagai sumber kecemasan dan ketakutan karena waktu kecil dia penah melihat orang yang ketakutan terhadap ular. Dalam hal ini, penderita telah belajar bahwa "ketika saya melihat ular maka respon saya adalah perilaku ketakutan".
Tokoh lain dalam pendekatan Behavior Therapy adalah E.L. Thorndike yang mengemukakan konsep operant conditioning, yaitu konsep bahwa seseorang melakukan sesuatu karena berharap hadiah dan menghindari hukuman.
Berbagai metode psikoterapi yang termasuk dalam pendekatan behavior therapy adalah Exposure and Respon Prevention (ERP), Systematic Desensitization, Behavior Modification, Flooding, Operant Conditioning, Observational Learning, Contingency Management, Matching Law, Habit Reversal Training (HRT) dan lain sebagainya.

HAKIKAT MANUSIA
Menurut Behavior Therapy, manusia adalah produk dan produsen (penghasil) dari lingkungannya. Pandangan ini tidak tergantung pada asumsi deterministik bahwa manusia adalah produk belaka dari pengkondisian sosiokultural mereka. Manusia dipandang memiliki potensi untuk berperilaku baik atau buruk, tepat atau salah.
Pendekatan behavior berpandangan bahwa setiap perilaku dapat dipelajari. Manusia mampu melakukan refleksi atas tingkahlakunya sendiri, dan dapat mengatur serta mengontrol perilakunya dan dapat belajar tingkah laku baru atau dapat mempengaruhi orang lain. Terapi behavior bertujuan untuk meningkatkan keterampilan masyarakat sehingga mereka memiliki lebih banyak pilihan untuk merespon. Dengan mengatasi perilaku melemahkan yang membatasi pilihan, orang lebih bebas untuk memilih dari kemungkinan yang tidak tersedia sebelumnya.

Tujuan
Tujuan umum dari terapi behavior ialah untuk meningkatkan pilihan pribadi dan untuk menciptakan kondisi baru untuk belajar; mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi perilaku dan menemukan tindakan untuk mengatasi tingkah laku bermasalah.

Sikap, peran, dan tugas Konselor
Sikap yang dimiliki oleh konselor behavior ialah menerima, dan mencoba memahami apa yang dikemukakan konseli tanpa menilai atau mengkritiknya. Dalam proses terapi, konselor berperan sebagai guru atau mentor.

Tahap-tahap konseling
Tahap-tahap dalam konseling behavior terdiri atas empat tahap yaitu:
1.      Asesmen
Hal-hal yang digali dalam asesmen meliputi analisis tingkah laku bermasalah yang dialami konseli saat ini; analisis situasi yang di dalamnya masalah konseli terjadi; analisis motivasional; analisis self-control; analisis hubungan sosial; dan analisis lingkungan fisik-sosial budaya.
2.      Menentukan Tujuan
Tujuan memiliki tempat sentral dalam terapi Behavior, karena tujuan inilah yang akan menghasilkan kontrak yang memandu jalannya terapi.  Tujuan yang ditetapkan akan digunkan sebagai tolak ukur untuk melihat keberhasilan proses terapi. Proses terapi akan dihentikan jika telah mencapai tujuan.
Konselor dan konseli mnetapkan tujuan pada awal terapi. Tujuan terapi harus jelas, konkret, dipahami, dan disepakati oleh klien dan konselor. Konselor dan klien mendiskusikan perilaku yang terkait dengan tujuan, keadaan yang diperlukan untuk perubahan, sifat tujuan, dan rencana tindakan untuk bekerja ke arah tujuan ini.
3.      Mengimplementasikan Teknik
Setelah merumuskan tujuan yang ingin dicapai, konselor dan konseli menentukan strategi belajar yang terbaik untuk membantu konseli mencapai perubahan tingkah laku yang diinginkan. Konselor dan konseli mengimplementasikan teknik-teknik konseling sesuai dengan masalah yang dialami oleh konseli.
4.      Mengakhiri Konseling
Proses konseling akan berakhir jika tujuan yang ditetapkan di awal konseling telah tercapai. Meskipun demikian, konseli tetap memiliki tugas, yaitu terus melaksanakan perilaku baru yang diperolehnya selama proses konseling, di dalam kehidupannya sehari-hari.

Teknik-teknik Behavioral Therapy

Teknik-teknik yang dapat dilakukan dalam behavioral therapy adalah sebagai berikut :
Desensitisasi Sistematis
Desensitisasi sistematis merupakan teknik relaksasi yang digunakan untuk menghapus perilaku yang diperkuat secara negative biasanya berupa kecemasan, dan menyertakan respon yang berlawanan dengan peilaku yang akan dihilangkan dengan cara memberikan stimulus yang berangsur dan santai.
Terapi Implosif
Terapi implosive dikembangkan atas dasar pandangan tentang seseorang yang secara berulang-ulang dihadapkan pada situasi kecemasan dan konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan ternyata tidak muncul, maka kecemasan akan hilang. Atas dasar itu klien diminta untuk membayangkan stimulus-stimulus yang menimbulkan kecemasan.
Latihan Perilaku Asertif
Latihan perilaku asertif digunakan untuk melatih individu yang mengalami kesulitan untuk menyatakan dirinya bahwa tindakannya layak atau benar.
Pengkondisian Aversi
Teknik pengkondisian diri digunakan untuk meredakan perilaku simptomatik dengaj cara menyajikan stimulus yang tidak menyenangkan, sehingga yang tidak dikehendaki tersebut terhambat kemunculannya.
Pembentukan Perilaku Model
Perilaku model digunakan untuk membentuk perilaku baru pada klien, memperkuat perilaku yang sudah terbentuk dengan menunjukkan kepada klien tentang perilaku model, baik menggunakan model audio,model fisik atau lainnya yang dapat teramati dan dipahami jenis perilaku yang akan dicontoh.
Kontrak Perilaku
Kontrak perilaku adalah persetujuan antara dua orang atau lebih (konselor dank lien) untuk mengubah tertentu pada klien. Dalam terapi ini konselor memberikan ganjaran positif dipentingkan daripada memberikan hukuman jika kontrak tidak berhasil.

KELEMAHAN DAN KELEBIHAN
Kelebihan
+    Pembuatan tujuan  terapi antara konselor dan konseli di awal  konseli dan itu dijadikan acuan keberhasilan proses terapi
+     Memiliki berbagai macam teknik konseling yang teruji dan selalu diperbaharui
+     Waktu konseling relatif singkat
+      Kolaborasi yang baik antara konselor dan konseli dalam penetapan tujuan dan pemilihan teknik

Kelemahan
-          Dapat mengubah perilaku tetapi tidak mengubah perasaan
-          Mengabaikan faktor relasional penting dalam terapi
-          Tidak memberikan wawasan
-          Mengobati gejala dan bukan penyebab
-          Melibatkan kontrol dan manipulasi oleh konselor


sumber:
Corey G. (2009). Theory and Practice of   Counseling and Psychotherapy (8th ed.). Belmont, CA: Brooks/Cole. 
Latipun. (2001). Psikologi Konseling. Malang : UMM Press

2013/04/21

Rational Emotive Therapy

Rational Emotive Therapy adalah terapi yang berusaha memahami manusia sebagaimana adanya. Manusia adalah subjek yang sadar akan dirinya dan sadar akan objek-objek yang dihadapinnya. Manusia adalah mahkluk yang berbuat dan berkembang dan merupakan individu dalam satu kesatuan yang berarti menusia bebas, berfikir, bernafas, dan berkehendak. Di samping itu, individu juga memiliki kapasitas untuk belajar kembali untuk berpikir rasional. Pendekatan ini bertujuan untuk mengajak individu mengubah pikiran-pikiran irasionalnya ke pikiran yang rasional melalui teori ABCDE.

RET lebih banyak kesamaannya dengan terapi-terapi yang berorientasi kognitif-tinngkah laku-tindakan dalam arti menitik beratkan berfikir, menilai, memutuskan, menganalisis, dan bertindak. RET sangat didaktif dan sangat direktif serta lebih banyak  berurusan dengan dimensi-dimensi fikiran dari pada dengan dimensi-dimensi perasaan. Konsep-konsep RET membangkitkan sejumlah pertanyaan-pertanyaan, yaitu :
Ø  Apakah pada dasarnya psikoterapi merupakan suatu proses reduksi?
Ø  Apakah sebaiknya terapis berfungsi terutama sebagai guru?
Ø  Apakah pantas para terapis menggunakan propoganda, persuasi, dan saran-saran yang sangat direktif?
Ø  Sampai mana keefektifan usaha membebaskan para klien dari keyakinan-keyakinan irrasional nya dengan menggunakan logika, nasihat, informasi, dan penafsiran-penafsiran?

Konsep Dasar
Menurut Albert Ellis, manusia pada dasarnya adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten. Ketika berpikir dan bertingkahlaku irasional individu itu menjadi tidak efektif. Reaksi emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari maupun tidak disadari. Hambatan psikologis atau emosional tersebut merupakan akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irasional, yang mana emosi yang menyertai individu dalam berpikir penuh dengan prasangka, sangat personal, dan irasional.

Perkembangan kepribadian dimulai dari bahwasanya manusia tercipta dengan a) dorongan yang kuat untuk mempertahankan diri dan memuaskan diri. b) Kemampuan untuk self-destruktive, hedonis buta dan menolak aktualisasi diri.

Berpikir irasional ini diawali dengan belajar secara tidak logis yang biasanya diperoleh dari orang tua dan budaya tempat dibesarkan. Berpikir secara irasional akan tercermin dari kata-kata yang digunakan. Kata-kata yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan kata-kata yang tepat menunjukkan cara berpikir yang tepat. Perasaan dan pikiran negatif serta penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional.

Pandangan pendekatan rasional emotif tentang kepribadian
Dikaji dari konsep-konsep kunci teori Albert Ellis : ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu Antecedent event (A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Kerangka pilar ini yang kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC.
1.    Antecedent event (A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami atau memapar individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan antecendent event bagi seseorang.
2.    Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan yang rasional merupakan cara berpikir atau system keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan kerana itu menjadi prosuktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan ayau system berpikir seseorang yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan keran itu tidak produktif.
3.    Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB.
Selain itu, Ellis juga menambahkan D dan E untuk rumus ABC ini. Seorang terapis harus me­lawan (dispute; D) keyakinan-keyakinan irasional itu agar kliennya bisa menikmati dampak-dampak (effects; E) psikologis positif dari keyakinan-keyakinan yang rasional.

Contoh Terapi Rasional Emotif
A (Antecedent event): “Saya takut anjing”.
B (Beliefs) pesan irasional: “Saya takut anjing berarti saya seorang penakut”.
   pesan rasional: ”Saya takut anjing, berarti saya payah, saya akan lebih dekat dengan anjing agar saya tidak takut lagi”.
C (Consequence): “Cemas, takut, lari, keringat dingin”.
D: “Tidak semua anjing menggigit dan suka menggonggong”.
E: Merupakan jawaban-jawaban yang telah dikembangkan. ”Ternyata tidak semua anjing suka menggigit dan menggonggong. Dia tidak akan menggigit dan menggonggong apabila kita tidak menganggunya”.

Ellis menandaskan bahwa karena manusia memiliki kesanggupan untuk berfikir, maka manusia mampu melatih dirinya sendiri untuk mengubah atau menghapus keyakinan-keyakinan yang menyabotase diri sendiri”. Untuk memahami dan mengonfrontasikan sistem-sistem keyakinan diperlukan disiplin diri, berifikir, dan belajar. Perubahan-perubahan kuratif dan preventif atas kecenderungan-kecenderungan menciptakan gangguan menjadi mungkin jika orang-orang dibantu dalam usahanya memperoleh pemahaman atas “ pemikiran yang sorong” dan atas “beremosi dan bertindak yang tidak layak”.

RET berasumsi bahwa karena keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai irasional orang-orang berhubungan secara kasual dengan gangguan-gangguan emosional dan behavioralnya, maka cara yang paling efisien untuk membantu orang-orang itu dalam membuat perubahan-perubahan kepribadiannya adalah mengonfrontasikan mereka secara langsung dengan filsafat hidup mereka sendiri, menerangkan kepada mereka bagaimana gagasan mereka sampai menjadikan mereka terganggu, menyerang gagasan-gagasan irasional mereka di atas dasar-dasar logika, dan mengajari mereka bagaimana berfikir logis dan karenanya mendorong mereka untuk mampu mengubah dan menghapus keyakinan irrasionalnya.

Tujuan Terapi Rational Emotive yaitu:
ü  Meminimalkan pandangan yang mengalahkan diri dari klien dan membantu klien untuk memperoleh filsafat hidup yang lebih realistik
ü  Menunjukan kepada klien bahwa verbalisasi-verbalisasi diri mereka telah dan masih merupakan sumber utama adri gangguan-gangguan emosional yang dialami klien
ü  Mendorong klien agar menguji secara kritis nilai-nilai dirinya yang paling dasar.
ü  Tidak hanya mengurangi ketakutan-ketakutan spesifik yang dialami klien, melainkan penanganan atas rasa takutnya secara umum
ü  Membantu klien membebaskan dirinya sendiri dari gejala-gejala yang dilaporkan yang tidak dilaporkan kepada terapis.

Ellis memberikan gambaran tentang bagaimana terapis berperan, atau apa saja yang harus dilakukan terapis dalam praktek rasional emotif, yaitu sebagai berikut:
a.       Mengajak klien untuk berfikir tentang beberapa gagasan dasar yang irasional yang telah memotivasi banyak gangguan tingkah laku.
b.      Menantang kepada klien menguji gagasan-gagasannya.
c.       Menunjukkan kepada klien ketidaklogisan pemikirannya.
d.      Menggunakan suatu analisis logika untuk meminimalkan keyakinan-keyakinan irasional klien.
e.      Menunjukan bahwa keyakinan-keyakinan itu tidak ada gunanya dan bagaimana keyakina-keyakinan akan mengakibatkan gangguan-gangguan emosional dan tingkah laku di masa depan.
f.        Menggunakan absurditas dan humor untuk menghadapi irasionalitas pikiran klien.
g.       Menerangkan bagaimana gagasan-gagasan yang irasional dan kesimpulan-kesimpulan yang tidak logis sekarang maupun pada masa yang akan datang, yang telah mengekalkan cara-cara merasa dan berperilaku yang merusak diri.

Kelebihan Rational Emotive Therapy:
+        Pendekatan ini cepat sampai kepada masalah yang dihadapi oleh klien. Dengan demikian, perawatan juga dapat dilakukan dengan cepat.
+        Kaedah berfikir logis yang diajarkan kepada klien dapat digunakan dalam menghadapi masalah yang lain.
+        Klien merasa dirinya mempunyai keupayaan intelaktual dan kemajuan dari cara berfikir.

Kekurangan Rational Emotive Therapy:
-          Ada klien yang boleh ditolong melalui analisa logis dan falsafah, tetapi ada pula yang tidak begitu cerdas otaknya untuk dibantu dengan cara yang sedemikian yang berasaskan kepada logika.
-          Ada sebagian klien yang begitu terpisah dari realitas sehingga usaha untuk membawanya ke alam nyata sukar sekali dicapai.
-          Ada juga sebagian klien yang memang suka mengalami gangguan emosi dan bergantung kepadanya dalam hidupnya, dan tidak mau berbuat apa-apa perubahan lagi dalam hidup mereka.


sumber:
Corey, G. (2009). Teori Dan Praktek Konseling Dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.
Surya, M. (2003). Teori-Teori Konseling. Bandung: CV Pustaka Bani Quraisy.
Willis, S. (2004). Konseling Individu Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta.

2013/04/15

ANALISIS TRANSAKSIONAL

Analisis Transaksional merupakan suatu pendekatan Psikoterapi untuk mensistematisasi, menganalisis dan mengubah pengaruh di antara manusia yang menekankan interaksi keduanya (antara diri dan manusia lain) dan kesadaran internal (regulasi diri dan kesadaran diri). Pendekatan analisis transaksional dipelopori oleh Erick Berne dan dikembangkan semenjak tahun 1950. Berbeda dengan terapi lainnya, analisis transaksional merupakan suatu terapi kontraktual dan desisional. Berfokus pada putusan-putusan awal yang dibuat oleh klien dan menekankan kemampuan klien untuk membuat putusan-putusan baru. Analisis transaksional menekankan aspek-aspek kognitif rasional-behavioral dan berorientasi kepada peningkatan kesadaran sehingga klien akan mampu membuat putusan-putusan baru dan mengubah cara hidupnya.
Berne mengembangkan pendekatan ini berlandaskan teori kepribadian yang berkenaan dengan analisis struktural dan transaksional. Teori ini menyajikan suatu kerangka bagi analisis terhadap tiga kedudukan ego yang terpisah, yaitu: orang tua, orang dewasa dan anak. Teori Berne, menggunakan beberapa kata utama dan menyajikan suatu kerangka yang bisa dimengerti dan dipelajari dengan mudah. Kata-kata utamanya adalah orang tua, orang dewasa, anak, putusan, putusan ulang, permainan, skenario, pemerasan, dicampuri, pengabdian dan ciri khas.
Awalnya model ini digunakan untuk menganalisis pola-pola komunikasi yang digunakan orang-orang ketika mereka berelasi dalam pasangan atau kelompok. Oleh karena itu, AT dapat dipergunakan untuk terapi individual, tetapi terutama untuk pendekatan kelompok. Pendekatan ini menekankan pada aspek perjanjian dan keputusan. Melalui perjanjian ini tujuan dan arah proses terapi dikembangkan sendiri oleh klien, juga dalam proses terapi ini menekankan pentingnya keputusan-keputusan yang diambil oleh klien. Maka proses terapi mengutamakan kemampuan klien untuk membuat keputusan sendiri, dan keputusan baru, guna kemajuan hidupnya sendiri.
Pendekatan AT banyak digunakan tidak hanya dalam bidang konseling dan psikoterapi, tapi juga dalam bidang lain seperti pelatihan pendidikan, manajemen dan komunikasi. Pendekatan AT cocok digunakan untuk membantu klien dalam menangani berbagai tipe dan tingkat problem dan disfungsi. Mencakup situasi problematic sederhana, melalui reaksi stress sementara, hingga kesulitan berelasi dan emosi yang jauh mengakar serta gangguan kepribadian. Teknik-teknik pendekatan AT bisa diterapkan pada hubungan orang tua-anak, belajar dikelas, pada konseling dan terapi individual serta kelompok dan pada konseling perkawinan.

STRUKTUR KEPRIBADIAN
Analisis transaksional meyakini pada diri individu terdapat unsure-unsur  kepribadian yang terstruktur dan itu  meruakan satu kesatuan yang disebut dengan “ego state”. Adapun unsur kepribadian itu terdiri dari:
a)  Ego state child
Pernyataan ego dengan ciri kepribadian anak-anak seperti bersifat manja, riang, lincah dan rewel. Tiga bagian dari ego state child ini ialah:
·   Adapted child (kekanak-kanakan)
Unsure ini kurang baik ditampilkan saat komunikasi karena banyak orang tidak menyukai dan hal ini menujukkan ketidak matangan dalam sentuhan.
·   Natural child (anak yang alamiah)
Natural child ini banyak disenangi oleh orang lain karena sifatnya yang alamiah dan tidak dibuat-buat serta tidak berpura-pura, dan kebanyakan orang senang pada saat terjadinya transaksi.
·   Little professor
Unsur ini ditampilkan oleh seseorang untuk membuat suasana riang gembira dan menyenangkan padahal apapun yang dilakukannya itu tidaklah menunjukkan kebenaran.
b)  Ego state parent
Ciri kepribadian yang diwarnai oleh siafat banyak menasehati, memerintah dan menunjukkan kekuasaannya. Ego state parent ini terbagi dua yaitu:
·   Critical parent
Bagian ini dinilai sebagai bagian kepriadian yang kurang baik, seperti menujukkan sifat judes, cerewet, dll.
·   Nurturing parent
Penampilan ego state seperti ini baik seperti merawat dan lain sebagianya.
c)  Ego state adult
Berorientasi kepada fakta dan selalu diwarnai pertanyaan apa, mengapa dan bagaimana.

Dengan demikian untuk kita ketahui bahwasanya dalam tiap individu ego state yang tiga diatas selalu ada yang berbeda cuma kadarnya saja. Berapa banyak ego state yang ada dalam individu akan mempengaruhi tingkah laku orang tersebut.

Tujuan terapi analisis transaksional
Menurut Corey, tujuan dasar dari analisis transaksional adalah membantu klien dalam membuat putusan-putusan baru yang menyangkut tingkah lakunya sekarang dan arah hidupnya. Sasaranya adalah mendorong klien agar menyadari bahwa kebebasan dirinya dalam memilih telah dibatsai oleh putusan dini mengenai posisi hidupnya.
Terapi analisis transaksional sebenarnya bertujuan untuk mengkaji secara mendalam proses transaksi (siapa-siapa yang terlibat di dalamnya dan pesan apa yang dipertukarkan). Berne menegaskan bahwa tujuan AT bukanlah mendapatkan suatu wawasan, melainkan penyembuhan. Beberapa terapis menyamakan penyembuhan dengan penyelesaian kontrak perawatan antara klien dan terapis. Namun Berne sendiri tidak melihat penyembuhan sebagai peristiwa tunggal, namun progresif yang berlangsung dalam empat tahap, yaitu:
1.  Kontrol sosial
Pada tahap ini klien mungkin masih merasakan ketidaknyamanan dan kesulitan sehingga ia datang ke terapis, namun ia telah bisa mengendalikan perilaku disfungsional dalam interaksinya dengan orang lain.
2.  Penyembuhan gejala
Pada tahap ini klien bisa mengalami kelegaan ketidaknyamanan subjektif seperti kecemasan, depresi atau kebingungan.
3.  Penyembuhan transferensi
Pada tahap ini klien sudah mulai bisa meninggalkan proses terapi, namun masih terkait dengan terapisnya.
4.  Penyembuhan naskah
Pada tahap ini klien dinilai sudah berubah secara substansial dan permanen dan tak lagi mengandalkan pola-pola terapi dan masuk ke dalam pikiran, perasaan, dan perilaku.



Fungsi dan Peran Terapis
         Terapis membantu klien dalam menemukan kondisi-kondisi masa lampau yang merugikan yang menyebabkan klien membuat putusan-putusan dini tertentu, memungut rencana-rencana hidup, dan mengembangkan strategi-strategi yang telah digunakannya dalam menghadapi orang lain yang sekarang barangkali ingin dipertimbangkannya. Terapis membantu klien memperoleh kesadaran yang lebih realitas dan mencari alternatif-alternatif guna menjalani kehidupan yang lebih otonom.
          Tugas terapis adalah menggunakan pengetahuannya untuk menunjang klien dalam hubungannya dengan suatu kontrak spesifik yang jelas yang diprakarsai oelh klien. Serta membantu agar klien memperoleh perangkat yang diperlukan bagi perubahan. Terapis mendorong dan mengajari klien agar lebih mempercayai ego orang dewasanya sendiri ketimbang ego orang dewasa  terapis dalam memeriksa putusan-putusan lamanya dan dalam membuat putusan-putusan baru.

Teknik Terapi Analisis Transaksional
Menurut Corey secara umum teknik-teknik yang dapat dipilih dan diterapkan dalam terapi analisis transaksional, yaitu:
a.  Permission (pemberian kesempatan), dalam proses terapi, pemberian kesempatan ini diberikan kepada kilen agar dapat menggunakan waktunya secara efektif tanpa melakukan ritual pengunduran diri mengalami semua status ego yang biasanya dilakukan dengan mendorong klin menggunakan kemampuan Status Ego Dewasa untuk menikmati kehidupantidak memainkan permainan dengan cara tidak membiarkan klien memainkannya.
b.  Protection (proteksi), klien mungkin akan merasa ketakutan setelah ia menerima kesempatan untuk menghentikan perintah-perintah orang tua dan menggunakan Status Ego Dewasa dan Status Ego Anak.
c.  Potency (potensi), maksudnya seorang terapis tahu apa yang akan dilakukan dan kapan melakukannya. Oleh karena itu kemampuan terapis terletak pada keahliannya, sehingga keterampilan tersebut efektif secara optimal.

Menurut Berne ada beberapa teknik khusus yang dapat dipakai dalam proses terapi, yaitu : interogasi, spesifikasi, konfrontasi, eksplanasi, illustrasi, konfirmasi, interprestasi, kristalisasi.

Kelebihan Terapi Analisis Transaksional:

  • Para terapis dapat dengan mudah menggunakannya.
  • Menantang klien untuk lebih sadar akan keputusan awal mereka.
  • Integrasi antara konsep dan praktek analisis transaksional dengan konsep tertentu dari terapi gestalt sangat berguna karena terapis bebas menggunakan prosedur dari pendekatan lain.
  • Memberikan sumbangan pada terapi multikultural karena terapi diawali dengan larangan mengaitkan permasalahan pribadi dengan permasalahan keluarga dan larangan mementingkan diri sendiri

Kekurangan Terapi Analisis Transaksional:

  • Banyak terminologi atau istilah yang digunakan dalam analisis transaksional yang cukup membingungkan.
  • Tidak ditemukan suatu penekanan yang kuat pada keotentikan terapis atau pada hubungan pribadi-ke-pribadi dengan klien.
  • Konsep serta prosedurnya dipandang dari perspektif behavioral, tidak dapat di uji keilmiahannya.
  • Klien bisa mengenali semua hal tetapi mungkin tidak merasakan dan menghayati aspek diri mereka sendiri.


Sumber:
Corey, G. (1988). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Eresco.
Palmer, S. (2011). Konseling dan Psikoterapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Robert, A.R & Greene, G.J. (2008). Buku Pintar Pekerja Sosial Jilid 1. BPK Gunung Mulia.

2013/04/01

Person-Centered Therapy

Client-centered Therapy adalah sebuah metode terapi yang diperkenalkan oleh seorang tokoh yang bernama Carl Rogers yang merupakan pencipta pendekatan konseling dan terapi yang dimaksudkan untuk membantu klien memenuhi potensi unik mereka dan menjadi pribadinya sendiri. Pada awalnya terapi ini bernama Client-centered Therapy, tetapi mulai tahun 1974 Rogers dan rekan-rekan sejawatnya mengubah nama terapi ini menjadi Person Centered Therapy untuk lebih menekankan pada aspek manusiawi. 

Terapi person-centered bersandar pada asumsi bahwa setiap orang memiliki motif aktualisasi-diri. Motif ini didefinisikan sebagai kecenderungan yang melekat pada semua orang (dan semua organisme) untuk mengembangkan kapasitas-kapasitasnya dalam cara-caranya yang berfungsi untuk mempertahankan atau meningkatkan orang itu. Jika motif yang diasumsikan ini tidak ada, maka fokus utama terapi person-centered pada non-directive akan menjadi persoalan. Rogers berpendapat bahwa seorang terapis tidak boleh membuat sugesti-sugesti atau penafsiran dalam terapi karena dalam pandangannya motif aktualisasi akan menuntun pasien dengan sangat baik. Jika motif ini tidak ada maka tidak ada alasan bagi terapis untuk menjadi non-directive.


Ciri-Ciri Person-Centered Therapy

  • Terapi berpusat pada person difokuskan pada tanggung jawab dan kesanggupan klien untuk menemukan cara-cara menghadapi kenyataan lebih sempurna.
  • Menekankan medan fenomenal klien. Medan fenomenal (fenomenal field) merupakan keseluruhan pengalaman seseorang yang diterimanya, baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Klien tidak lagi menolak atau mendistorsi pengalaman-pengalaman sebagaimana adanya.
  • Prinsip-prinsip psikoterapi berdasarkan bahwa hasrat kematangan psikologis manusia itu berakar pada manusia sendiri. Maka psikoterapi itu bersifat konstrukstif dimana dampak psikoterapeutik terjadi karena hubungan terapis dan klien.
  • Terapi ini tidak dilakukan dengan suatu sekumpulan teknik yang khusus. Tetapi pendekatan ini berfokus pada person sehingga terapis dan klien memperlihatkan kemanusiawiannya dan partisipasi dalam pengalaman pertumbuhan.

Teknik-Teknik Person-Centered Therapy
Terapi ini tidak memiliki metode atau teknik yang spesifik, sikap-sikap terapis dan kepercayaan antara terapis dan klienlah yang berperan penting dalam proses terapi. Terapis membangun hubungan yang membantu, dimana klien akan mengalami kebebasan untuk mengeksplorasi area-area kehidupannya yang sekarang diingkari atau didistorsinya. Terapis memandang klien sebagai narator aktif yang membangun terapi secara interaktif dan sinergis untuk perubahan yang positif. Terapi ini pada umumnya menggunakan teknik dasar mencakup mendengarkan aktif, merefleksikan perasaan-perasaan atau pengalaman, menjelaskan, dan “hadir” bagi klien, namun tidak memasukkan pengetesan diagnostik, penafsiran, kasus sejarah, dan bertanya atau menggali informasi. Untuk terapis person centered, kualitas hubungan terapi jauh lebih penting daripada teknis. Terapis harus membawa ke dalam hubungan tersebut sifat-sifat khas yang berikut:

  • Menerima. Terapis menerima pasien dengan respek tanpa menilai atau mengadilinya entah secara positif atau negatif. Pasien dihargai dan diterima tanpa syarat. Dengan sikap ini terapis memberi kepercayaan sepenuhnya kepada kemampuan pasien untuk meningkatkan pemahaman dirinya dan perubahan yang positif.
  • Keselarasan (congruence). Terapis dikatakan selaras dalam pengertian bahwa tidak ada kontradiksi antara apa yang dilakukannya dan apa yang dikatakannya.
  • Pemahaman. Terapis mampu melihat pasien dalam cara empatik yang akurat. Dia memiliki pemahaman konotatif dan juga kognitif.
  • Mampu mengkomunikasikan sifat-sifat khas ini. Terapis mampu mengkomunikasikan penerimaan, keselarasan dan pemahaman kepada pasien sedemikian rupa sehingga membuat perasaan-perasaan terapis jelas bagi pasien.
  • Hubungan yang membawa akibat. Suatu hubungan yang bersifat mendukung (supportive relationship), yang aman dan bebas dari ancaman akan muncul dari teknik-teknik diatas.

Fungsi terapi person centered
Pendekatan humanistik Roger terhadap person centered therapy membantu pasien untuk lebih menyadari dan menerima dirinya yang sejati dengan menciptakan kondisi-kondisi penerimaan dan penghargaan dalam hubungan terapeutik. Roger berpendapat bahwa terapis tidak boleh memaksakan tujuan-tujuan atau nilai-nilai yang dimilikinya kepada pasien. 
Fokus dari terapi adalah pasien/klien. Terapi adalah nondirektif, yakni pasien dan bukan pasien memimpin atau mengarahkan jalannya terapi. Terapis memantulkan perasaan-perasaan yang diungkapkan pasien untuk membantunya berhubungan dengan perasaan-perasaannya yang lebih dalam dan bagian-bagian dari dirinya yang tidak di akui karena tidak diterima oleh masyarakat. Terapis memantulkan kembali atau menguraikan dengan kata-kata apa yang diungkapkan pasien tanpa memberi penilaian.


Tahap-Tahap Person-Centered Therapy
Terapis melakukan dua tahap, yaitu:
  1. Tahap membangun hubungan terapeutik, menciptakan kondisi fasilitatif dan hubungan yang substantif seperti empati, kejujuran, ketulusan, penghargaan, dan positif tanpa syarat. 
  2. Tahap kelanjutan yang disesuaikan dengan efektivitas hubungan konseling dan disesuaikan dengan kebutuhan klien.
Sedangkan jika dilihat dari segi pengalaman klien dalam proses hubungan terapi dapat dijabarkan bahwa proses terapi dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu:
  1. Klien datang ke terapis dalam kondisi tidak kongruensi, mengalami kecemasan, atau kondisi penyesuaian diri yang tidak baik.
  2. Saat klien menjumpai terapis dengan penuh harapan dapat memperoleh bantuan, jawaban atas permasalahan yang sedang dialami, dan menemukan jalan atas kesulitan-kesulitannya. Perasaan yang ada pada klien adalah ketidakmampuan mengetasi kesulitan hidupnya.
  3. Pada awal terapi klien menunjukan perilaku, sikap, dan perasaannya yang kaku. Dia menyatakan permasalahan yang dialami kepada terapis secara permukaan dan belum menyatakan pribadi yang dalam. Pada awal-awal ini klien cenderung mengeksternalisasi perasaan dan masalahnya, dan mungkin bersikap defensif.
  4. Klien mulai menghilangkan sikap dan perilaku, membuka diri terhadap pengalamannya, dan belajar untuk bersikap lebih matang dan lebih teraktualisasi, dengan jalan menghilangkan pengalaman yang didistorsinya.

Kelebihan person centered therapy :
  1. Pemusatan pada klien dan bukan pada therapist.
  2. Identifikasi dan hubungan terapi sebagai wahana utama dalam mengubah kepribadian.
  3. Lebih menekankan pada sikap terapi daripada teknik.
  4. Memberikan kemungkinan untuk melakukan penelitian dan penemuan kuantitatif.
  5. Penekanan emosi, perasaan, perasaan dan afektif dalam terapi.
  6. Menawarkan perspektif yang lebih up-to-date dan optimis.
  7. Klien memiliki pengalaman positif dalam terapi ketika mereka fokus dalam menyelesaiakan masalahnya.
  8. Klien merasa mereka dapat mengekpresikan dirinya secara penuh ketika mereka mendengarkan dan tidak dijustifikasi.

Kekurangan Person Centered therapy
  1. Terapi berpusat pada klien dianggap terlalu sederhana.
  2. Terlalu menekankan aspek afektif, emosional, perasaan.
  3. Tujuan untuk setiap klien yaitu memaksimalkan diri, dirasa terlalu luas dan umum sehingga sulit untuk menilai individu.
  4. Tidak cukup sistematik dan lengkap terutama yang berkaitan dengan klien yang kecil tanggungjawabnya.
  5. Sulit bagi therapist untuk bersifat netral dalam situasi hubungan interpersonal.
  6. Terapi  menjadi tidak efektif ketika konselor terlalu non-direktif dan pasif. Mendengarkan dan bercerita saja tidaklah cukup.
  7. Tidak bisa digunakan pada penderita psikopatologi yang parah.
  8. Minim teknik untuk membantu klien memecahkan masalahnya.



sumber:
Corey, Gerald. 2009. Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama.
Gunarsa, Singgih D. 1996. Konseling Dan Psikoterapi. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Palmer, Stephen. 2010. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semiun. Yustinus, OFM. 2006. Kesehatan mental 3. Yogyakarta : Kanisius.